Jumat, 11 Juli 2014

Sebuah kantong plastik

cerpen kehidupan
sebuah kantong plastik
 Aku tak tahu harus berbuat apa, ketika ada seorang nenek tua rentang telah memberikanku sebuah kantong plastik. Sebagai ucapan terima kasih karena aku telah membantunya untuk menyeberangi jalan raya. Aku tak tahu harus mengucapkan kata-kata apa. Diriku pun keheranan atas pemberian sebuah kantong plasik dari nenek tua tersebut. Hanya ucapan “terima kasih” dengan ucapan yang lancar. Nenek tua itu berkata ini adalah sebuah kebaikan dari perbuatanmu. Saat aku memeriksa isi dari kantong plastik warna hitam dengan ukuran kecil  yang kosong namun berat untuk di pegang, nenek tua itu pun langsung menghilang seketika. Itu membuatku terbangun dari tidurku. Dan saat yang bersamaan ibu sudah ada di dalam kamarku.
Ib..ibbuu..ibu..ke..na...ppa.. “tanyaku dengan ucapan terbata-bata
Kamu ini ayo cepat bangun pergi sekolah. Ini sudah jam berapa? Kamu tidak bangun sholat subuh lagi “ ujar ibu
Ssu..ddah..jam..be..rapp..pa..bu! “ tuturku dengan ucapan terbata-bata yang masih berada di atas ranjang .
Mmmmmm liat  jam wekermu sudah jam 06.23 “ celoteh ibu sambil menunjukkan jam wekerku
Wa...ddduh.... “ ujarku singkat
Dengan cepatnya aku pun pergi ke WC untuk mandi, dan bersiap-siap untuk kesekolah agar tidak terlambat. Ibu yang melihat reaksiku hanya menggelelng-gelengkan kepalanya.
Sewaktu memakai seragam sekolah aku melihat sebuah kantong warna hitam yang mirip dengan kantong  plastik yang ada di dalam mimpiku. Aku mengambil kantong tersebut di samping bantalku, aku membuka isi kantong tersebut dan isinya kosong. Aku begitu kecewa atas isi kantong tersebut yang kosong, padahal tadi kelihatan ada isinya. Aku berharap mudah-mudahan itu sebuah keajaiban.
Ibu memperhatikanku sedari tadi ia  langsung memarahiku, menyuruhku untuk tidak melamun di pagi hari. Jelas ibu melihatku karena pintu kamarku tidak tertutup rapat. Karena aku lupa untuk menutup dan mengunci pintunya.
Dengan perasaan berat hati,aku pun bersiap-siap berangkat kesekolah
Sesampai di sekolah, seperti biasa di sekolah aku tak banyak kegiatan yang kulakukan. Tak ada yang spesial buatku di sekolah, aku hanya siswa biasa tak punya prestasi. Namaku Dianty alyana, aku adalah orang yang selalu asik dengan duniaku sendiri, tidak suka berbagi perasaan suka,dan duka. Aku dikenal sebagai anak yang jarang mengobrol di sekolah dengan teman, suka menyendiri, jarang tersenyum, dan suka melamun.
Beberapa menit kemudian pelajaran pertama akan dimulai
Setelah itu dilanjutkan pelajaran berikutnya, hingga pelajaran telah usai  tepat pukul 12.45 semua para siswa bersiap-siap untuk pulang.
Sewaktu perjalanan menuju ke rumah, mimipiku tadi pagi selalu terbayang dalam benakku, dari kejauhan teman kelasku Wulan berlari menghampiriku yang sudah ada di jalan raya. Ia berkata padaku agar tidak terlarut dalam emosi yang berkepanjangan, ia menyarankan agar aku tidak membenci papaku lagi. setelah mengatakan hal tersebut ia pun langsung pergi meninggalkanku sendiri menunggu mobil angkutan. Perkataannya membuatku menambah beban fikiranku.
Terlihat dari kejauhan sana ada seorang laki-laki berpakaian jas yang sangat rapi ia terus memperhatikan gerak-gerikku di seberang jalan raya  yang tak jauh dari tempat aku berdiri menunggu mobil angkutan . Aku mencoba berfikir positif di dalam hati dan berharap mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa.
Sambil menunggu angkutan mobil, terbayang wajah papa yang tersenyum padaku, senyumannya membuat hatiku ingin memanggil namanya . Akan tetapi, tetap saja aku akan membencinya karena telah membuatku kehilangan semangat hidup, kehilangan senyumanku, dan membuat ibu membenciku. Laki-laki tua itu terus memandangiku, sehingga menggangggu suasana fikiranku, Ia kelihatannya ingin menghampiriku. Dan ternyata dugaanku benar, ia berjalan menuju ke arahku.
Perlahan namun pasti aku mulai mengenal laki-laki tua  itu dan ternyata laki-laki tua itu ternyata papaku. Aku mencoba berlari sekuat yang aku bisa namun papa berhasil menangkapku dan menggendongku masuk ke mobilnya agar aku tidak kabur. Aku pun duduk, dan berbicara sendiri dengan gagap tanpa di tanya duluan oleh papa aku menceritakan semua kekesalanku padanya, agar ia tahu betapa menderitanya aku selama ini.
“ Gara-gara papa, setiap pulang ke rumah aku akan di pekerjakan oleh ibu sebagai buruh cuci, dan dipaksa, disiksa untuk meminta-minta di jalan ,selalu diperlakukan sebagai anak pungut. Aku sangat sedih mengapa aku harus lahir di dunia ini, bila aku hanya di jadikan layaknya seorang budak, anak yang tak pernah diberikan sedikitpun kasih sayang dari orang tuanya. Papa dan ibu sama saja tak pernah peduli atas perasaanku”. Papa yang menyetir mobil tidak memperdulikan atas curahan hatiku, tak sepatah kata yang keluar dari mulut  papa.
Karena merasa tidak diperhatikan akupun terdiam sambil mengusap air mata yang terus membasahi pipiku.
Beberapa menit kemudian mobil papa terparkir di sebuah ruko di pinggir jalan. Lagi-lagi aku melihat sebuah kantong warna hitam yang mirip di dalam mimpiku, aku mencoba berfikir positif. Sementara itu papa menyuruhku untuk tetap di sini karena, ia ingin membeli obat di apotik yang tak jauh dari ruko tempat aku berdiri.
Terbesit di fikiranku untuk kabur. Aku mengiyakan fikiranku dan akhirnya aku berlari mencoba untuk kabur. Papa yang masih dari kejauhan masih berdiri di depan apotik mangantri. Ia tidak tahu kalau aku kabur.
Lari dan terus berlari hingga aku berhenti di sebuah rumah sakit, aku masuk kedalam karena merasa dadaku merasa kesakitan, dan kakiku seakan tak sanggup untuk berjalan. Dengan tertatih-tatih aku menuju ke ruangan dokter, tiba-tiba aku menabrak seorang dokter wanita, dan ternyata dokter tersebut adalah tanteku saudara ibuku. Aku lupa bahwa Tante Rika bekerja di Rumah sakit ini. Tak perlu basa-basi aku langsung masuk ke dalam ruangannya, aku menyuruh Tante Rika unutuk memeriksa kesehatanku.
Beberapa jam kemudian, sejumlah rangkaian tes sudah ku jalani, Tante Rika berpesan agar aku harus istirahat yang cukup, ia juga menyarankan agar besok aku datang kesini mengambil hasil pemeriksaanku.
Dengan suara yang lemah aku pamit kepada Tante Rika untuk pulang karena sudah sore. Tante Rika bertanya padaku bahwa mengapa aku datang sendiri, dan masih berpakaian seragam sekolah. Aku hanya terdiam mendengarnya. Tante Rika kemudian betanya kembali apakah aku harus diantar pulang. Aku menjawab “ ng....nggak....us...ah...Tante! Dian bisa kok? ”
Aku pun berjalan keluar, sambil berjalan aku memikirkan bagaimana caranya aku bisa pulang, aku tidak punya uang jajan lagi. Spontan sebuah ide mucul dalam benakku di saat aku melihat ada seorang penjual koran cilik laki-laki sedang menjual korannya di pinggir jalan r1  w2aya.
Aku menghampirinya dan menawarkan diri untuk membantunya, ia menyutujuinya, aku sangat senang, walaupun rasa lelah,letih,sedih, beradu satu dalam jiwaku. Aku tidak patah semangat. Aku dan penjual koran cilik itu menjual koran dengan menawarkannya ke pengguna jalan raya.
Tak terasa sore kian larut. Hasil penjualan koran kami ternyata tidak membuahkan hasil hanya 3 buah koran saja yang terjual, aku merasa sedih, terlebih lagi penjual koran cilik yang kutemani ia sempat meneteskan air mata karena uang yang kami dapatkan hanya Rp. 4.500,00. Padahal uang tersebut ingin ia pakai untuk membeli obat untuk ibunya yang sakit di rumah. Aku terharu melihatnya dan memberikan sebuah pelukan hangat agar ia bersemangat dan tidak berkecil hati.
Ku urung niatku untuk meminta uang padanya, mendengar ucapannya. Tetapi tak disangka ia seakan mengetahui maksud hati kecilku, ia memberikan hasil jualan koran kami. Awalnya aku memaksa untuk menolaknya namun karena ia terus juga memaksa akhirnya, aku menerima uang tersebut. Aku pun berpamitan kepadanya, dan terus mengucapkan terima kasih banyak untuknya.
“ cilacak... " Teriakan dari knek mobil angkutan , membuatku sejenak menoleh ke arah panggilan knek tersebut dan memutuskan untuk naik angkutan tersebut. Lambaian tanganku tak pernah berhenti ke penjual koran cilik tersebut sambil tersenyum-senyum kepadanya sebagai tanda terima kasihku padanya.
Sesampai di rumah aku langsung di sambut oleh teriakan ibu dengan nada marah. Aku menggerutu di dalam hati.
Sapu ijuk yang di genggam ibu patah akibat, ibu lagi-lagi memukulku, aku merintih kesakitan mengelus kedua kakiku yang memerah. Alasan ibu memukulku tak lain adalah aku pulang terlalu sore. Ibu tidak puas dengan hanya memukulku, ibu menyeretku ke dapur dan menyelupkan kedua kakiku ke minyak goreng yang panas. Air mataku seakan terus mengalir, ibu benar-benar tega menyiksaku layaknya binatang.
Setelah itu, ibu menangis di ruang tamu, aku tak tahu apa sebabnya, aku berjalan kesakitan menghampirinya dan meminta maaf di bawah kakinya atas perbuatanku tadi yang telah pulang terlambat. Perutku yang kesakitan akibat tidak makan seharian aku abaikan dengan terus memohon ampun pada ibu.
Waktu terus berlalu, sore, malam berganti dengan pagi.
Di pagi hari ini, ibu menyuruhku untuk berangkat ke sekolah, aku yang masih di ruang tamu terbaring lemah, dan menangis terisak-isak. Ibu memgahampiriku dan memegang tanganku dengan erat, lalu menyuruhku untuk pergi mandi, dan pergi ke sekolah.
Dengan terpaksa aku menuruti keinginan ibu, dengan berat hatiku untuk berangkat ke sekolah, karena kakiku masih kesakitan dan memar akibat di celupkan di minyak goreng yang begitu panas.
Di sekolah
Aku banyak terdiam, Wulan mengahampiriku menanyakan keadaanku, namun aku hanya tersenyum- senyum seakan tak terjadi apa-apa.
Terdiam dan terdiam itu yang kulakukan dengan terus meratapi penyiksaan batin yang dilakukan ibu. Aku terus melamun hingga pulang sekolah.
Aku menyebrang ke jalan raya sebelah untuk menunggu mobil angkutan. Ketika aku menyebrang ibu tiba-tiba meneriakiku dengan berkata “awas......!!”.
Sebuah truk besar langsung menabrakku, aku terjatuh tak berdaya sepintas aku melihat sebuah kantong hitam yang tiba-tiba muncul di atas kepalaku dan menutupi darah yang keluar dari mulutku, ibu dan papa yang melihat kejadian tersebut berteriak histeris. Semua orang yang ada di tempat itu panik melihatku tertabrak oleh truk.
Karya : Hardianty
kritik dan saran :)
fb: Hersa Dianty

Tidak ada komentar:

Posting Komentar